Anarkis Bukan Budaya !
Kasus anarkisme massa, termasuk yang menekan aparat negara untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sudah masuk pada tahap membahayakan.
Eskalasinya begitu memprihatinkan dan mengancam kebhinekaan Indonesia. Kalau
tidak menimbulkan kerusakan fisik bangunan atau barang, aksi-aksi tersebut juga
berpotensi dapat menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Apa pun alasan
dan motif yang memicunya, aksi-aksi kekerasan tersebut termasuk tindakan barbar
yang tidak boleh diberi ruang.
Di alam demokrasi saat ini segala ketidakpuasan atau kekecewaan
boleh saja diungkapkan secara terbuka. Tetapi, tidak boleh dilandasi kekerasan
yang menyebabkan pihak lain terganggu atau dirugikan. Dalih apa pun, kekecewaan
terhadap kebijakan negara tidak boleh berwujud tindakan anarkistis. Apalagi,
jika dilakukan oleh sekumpulan orang yang berbentuk massa yang rawan
terprovokasi. Aksi anarkistis tidak boleh menjadi model untuk menumpahkan
segala bentuk kekecewaan ataupun aspirasi.
Tidak boleh dijadikan 'model perjuangan' karena akan
menghancurkan sistem nilai dan tatanan bernegara yang selama ini dijaga untuk
merekatkan pluralisme. Memang konstitusi negara menjamin kebebasan bagi publik
untuk berserikat, berhimpun, dan menyampaikan aspirasinya di ruang publik.
Namun, harus mengacu pada norma hukum dan norma sosial yang berlaku. Saat
kekerasan terus mewarnai penyaluran aspirasi, atau ketika ruang publik
mengancam rasa aman masyarakat untuk beraktivitas tanpa ada tindakan tegas, dipastikan
negara akan kehilangan substansinya sebagai pelindung rakyat.
Menurut
saya : Negara tidak boleh abai dari kewajibannya melindungi rakyat
dari ancaman, apalagi hanya jadi penonton karena takut berbenturan dengan
massa. Akibat tekanan ekonomi dan ketidakpastian hukum, masyarakat semakin
mudah tersulut marah dan tersinggung meski hanya persoalan sepele. Amuk massa
terjadi di mana-mana, termasuk bentrok antaraparat keamanan dengan meniru ulah
pelajar tingkat SLTP.
Salah
satu momok yang mengancam rasa aman masyarakat
TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.
Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara. Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan menyelesaikan masalah?
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang pendidikan.
Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam “prestasi buruk” selama ini
menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental:
sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan
mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi
masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang diserap
dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi
kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi
masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dankongkow-kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dankongkow-kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Penanganan :
Sekolah yang
Menyenangkan
Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkan”seperti model quantum learning. Dalam quantum learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang “dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa. Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkan”seperti model quantum learning. Dalam quantum learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang “dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa. Dalam quantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
Peran
Orangtua
Keluarga
harus menjadikan tempat yang nyaman bagi remaja untuk mencurahkan berbagai
permasalahannya
masa
remaja merupakan masa transisi mencari jati diri, sehingga peran orangtua dalam
mengarahkan remaja agar memiliki karakter yang baik amatlah penting.
Dengan demikian,maka karakter anak akan kuat dan tidak mudah terpengaruh lingkungan yang buruk.
Selain orangtua, guru di sekolah juga punya peran besar untuk menjadi teladan dan sahabat bagi murid-murid yang masih remaja.
Dengan demikian,maka karakter anak akan kuat dan tidak mudah terpengaruh lingkungan yang buruk.
Selain orangtua, guru di sekolah juga punya peran besar untuk menjadi teladan dan sahabat bagi murid-murid yang masih remaja.
diperlukan
komitmen semua pihak untuk membentuk lingkungan yang ramah remaja.
Misalkan saja, pemerintah daerah bisa menyediakan lebih banyak fasilitas umum, tempat olahraga maupun rekreasi agar remaja bisa mempunyai lebih banyak aktivitas yang positif.
Misalkan saja, pemerintah daerah bisa menyediakan lebih banyak fasilitas umum, tempat olahraga maupun rekreasi agar remaja bisa mempunyai lebih banyak aktivitas yang positif.
Tayangan
televisi dan media massa untuk tidak menampilkan berita atau tayangan yang
mengandung unsur kekerasan karena bisa berpengaruh pada jiwa remaja.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan: terus berusaha dan tak kenal menyerah.